BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tiada
henti-hentinya bila kita membahas tentang politik, apalagi di era globalisasi
seperti sekarang ini. Globalisasi membawa dampak yang sangat berpengaruh dalam
politik di Indonesia. Seperti yang kita tahu Indonesia merupakan negara yang
demokratis, oleh karena itu partisipasi masyarakat, utamanya dalam politik
sangat diperlukan untuk membentuk suatu pemerintahan. Suatu bentuk partisipasi
yang agak mudah untuk diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam
pemilihan umum antara lain melalui perhitungan persentase orang yang
menggunakan hak pilihnya dibanding dengan jumlah warga negara yang berhak
memilih. Salah satu permasalahan yang cukup fenomenal di dalam pemilihan umum
yaitu adanya Golongan Putih yang kerap disebut “GOLPUT”.
“GOLPUT”
merupakan kata yang tak asing lagi di telinag masyarakat. Bahkan sekarang
jumlah Warga Negara yang melakukan GOLPUT menurut lembaga survey semakin
meningkat. Hal ini diakibatkan banyak faktor dan sampai saat ini banyak solusi
yang telah dilakukan tetapi dalam kenyataannya jumlah orang yang melakukan
GOLPUT masih saja terus meningkat. Bila hal ini terus terjadi, tidak menutup
kemungkinan akan mengantarkan Negara ini ke dalam kehancuran.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari politik,
partisipasi politik, pemilu dan golput?
2. Apa penyebab terjadinya golput?
3. Bagaimana solusi yang bisa dilakukan
untuk mengatasi terjadinya golput?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui pengertian dari politik,
partisipasi politik, pemilu dan golput
2. Mengetahui penyebab terjadinya
golput
3. Dapat memberikan solusi untuk
mengatasi terjadinya golput
BAB
II
ISI
2.1 TINJAUAN TEORI
“Politik
adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan
dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat
yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu” (Ramlan Surbakti, 1991). “Politik
adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau sebagai tekhnik
menjalankan kekuasaan” (F. Isjwara, 1995). “Politik adalah aktivitas perilaku
atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan
keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat” (Kartini Kartono,
1996). Menurut definisi di atas dapat disimpulkan bahwa politik merupakan salah
satu sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat
sehingga apapun program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan
keinginan-keinginan masyarakat dimana tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai
dengan baik.
Dalam analisis politik modern
partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting, dan akhir-akhir ini
banyak dipelajari terutama pada hubungannya dengan negara-negara yang sedang berkembang.
Apakah
yang dinamakan partisipasi politik itu? Sebagai definisi umum dapat dikatakan
bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk
ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih
pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Kegiatan ini mencakup kegiatan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai, mengadakan
hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Untuk
lebih jelasnya, dibawah ini disajikan pendapat beberapa sarjana.
“Partisipasi
politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana
mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung
dan tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum” (The term
“political participation” will refer to those voluntary activities by which
members of a society share in the selection of rulers and, directly or
indirectly, in the formation of public policy). Herbert McClosky (1972 dalam
Miriam Budiardjo, 1998: 2)
“Partisipasi
politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak
langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/atau
tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka” (By political participation we
refer to those legal activities by private citizens which are more or less
directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and/or
the action they take). Norman H. Nie dan Sidney Verba (1975 dalam Miriam
Budiardjo, 1998: 2)
“Partisipasi
politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi,
yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan,
mantap atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau ilegal, efektif
atau tidak efektif” (By political participation we mean activity by private
citizens designed to influence government decision-making. Participation may be
individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic,
peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective). Samuel P.
Huntington dan Joan M. Nelson (1977 dalam Miriam Budiardjo, 1998: 3)
Di
negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah
kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama
untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk
menentukan orang-orang yang akan memegang tumpuk pimpinan. Anggota masyarakat
yang berpartisipasi dalam proses politik misalnya melalui pemberian suara atau
kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu
kepentingan mereka akan tersalur dan mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi
tindakan mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dalam
Negara demokratis, umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi mesyarakat,
lebih baik. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap
sebagai tanda yang kurang baik, karena diartikan bahwa warga negara tidak
menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan. Lagi pula, dikhawatirkan bahwa
jika berbagai pendapat kurang mendapat kesempatan untuk dikemukakan, pimpinan
negara akan kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat dan
cenderung untuk melayani kepentingan kelompok saja.
Suatu bentuk partisipasi yang agak
mudah untuk diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan
umum antara lain melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak
pilihnya dibanding dengan jumlah warga negara yang berhak memilih.
Pemilihan umum merupakan sarana yang
bersifat demokratis untuk membentuk sistem kekuatan negara yang berkedaulatan
rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar
negara. Kekuasaan yang lahir dengan pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir
dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan
rakyat oleh rakyat, menurut sistem permusyawaratan perwakilan. Pemerintahan
dari dan untuk rakyat. Melalui pemilu, setidaknya dapat dicapai tiga hal. Pertama
yaitu, lewat pemilu kita dapat menguji hak-hak politik rakyat secara
keseluruhan. Kedua, melalui pemilu kita dapat berharap terjadinya proses
rekrutmen politik secara adil, terbuka, dan kompetitif. Ketiga, dari pemilihan
umum kita menginginkan adanya pergantian kekuasaan dari figur-figur pejabat
publik yang lebih baik.
Diadakan pemilihan umum itu tidak
sekedar memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan
atau perwakilan saja, dan juga tidak memilih wakil-wakil rakyat untuk menyusun
negara baru dengan dasar falsafah negara baru, tetapi suatu pemilihan
wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawakan isi hati nurani rakyat dalam
melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan Kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia bersumber pada proklamasi 17 Agustus 1945 guna
memenuhi dan mengemban amanat penderitaan rakyat.
Dalam
kajian perilaku pemilih hanya ada dua konsep utama, yaitu; perilaku memilih
(voting behavior) dan perilaku tidak memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan
ada dua pendekatan teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu:
pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan
karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan
pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau
tidak hadir memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh;2007). Istilah golput muncul
pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa
sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan
almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa
aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah
Putra ;2003 ; 104). Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa
pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan
Arbi Sanit mengatakan bahwa golput adalah gerakan protes politik yang
didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan
golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai golput alm. KH. Abdurrahaman
Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot-
repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009; 1).
Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda
dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila
pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak
menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput
menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu
gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak
mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi
mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam
kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan
menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi
pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu (Arbi Sanit ; 1992)
Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang dengan sengaja dan
dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam
pemilu. Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan
Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari
pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula persyaratan
yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan
atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari
istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan
juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di
sengaja maupun tidak. Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat
golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis
tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan
hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga
suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka
yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain
(lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka
yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya
bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput
ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan
tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau
alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah). Sedangkan menurut Novel
Ali(1999;22)., di Indonesia terdapat dua kelompok golput Pertama, adalah
kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan
karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya.
Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan
hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah kelompok golput pilihan.
Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu
benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai
politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi
politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu
atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis
politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini
memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat
deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.
Tinjauan
Penelitian Sebelumnya
Banyak
kajian penelitian sebelumnya yang membahas tentang perilaku masyarakat yang
tidak memilih. Salah satunya dilakaukan Tauchid Dwijayanto dengan judul
penelitian Fenomena Golput Pada Pilgub Jateng 2008-2013 (Studi Kasus Masyarakat
Golput Kota Semarang) Berdasarkan hasil penelitianan yang dilakukan oleh
Tauchid Dwijayanto ada tiga faktor utama yang menyebabkan tingginya angka
golput dalam Pilgub Jateng 2008-2013 di Kota Semarang yaitu:
1. Masih lemahnya sosialisasi tentang
Pilgub Jawa Tengah. Dari temuan penelitian tersebut di tegaskan bahwa
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang serta Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan masih sangat kecil peranannya dalam rangka
mensosialisasikan pengetahuan tentang pelakasanaan Pemilihan Gubernur Jawa
Tengah.
2. Masyarakat lebih mementingkan
kebutuhan ekonomi. Tauchid Dwijayanto mengatakan
bahwa maka mayoritas responden lebih memilih untuk bekerja dari pada datang ke
TPS memberikan suara, karena faktor ekonomi dimana masyarakat lebih memilih
bekerja dari pada hilang pengasilannya dari pada hadir di TPS yang berdampak
pada berkurangnya penghasilan, sementara tuntutan ekonomi keluarga semakin
kuat.
3. Sikap apatisme terhadap pemilihan
gubernur. Hasil temuan penelitian Tauchid Dwijayanto mengatakan mayoritas
responden (67%) menganggap bahwa dengan dilaksanakannya Pilgub ini tidak akan
membawa perubahan apapun baik terhadap provinsi maupun kehidupan mereka.
Menurut mereka perhelatan semacam Pilgub ini hanyalah sebuah rutinitas politik
saja tanpa menjanjikan suatu perubahan yang berarti.
Peneliti
lain yang membahas tentang fenomoena golput adalah Efniwati, penelitiannya
berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Hak Pilih pada Pemilihan
Presiden 2009 di Kota Dumai (Studi Kasus di Kecamatan Dumai Timur dan Kecamatan Sei. Sembilan). Temuan
kajian Efniwati yang dilakukan di dua kelurahan di Kota Dumai untuk perilaku
masyarakat tidak memilih menunjukkan ada dua faktor yang kuat mempengaruhi
masyarakat. Faktor pekerjaan responden adalah faktor yang paling dominan
mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya di Kelurahan Sukajadi
yaitu sebesar 16,9%, sedangkan di Kelurahan Bangsal Aceh faktor lokasi TPS
(X12) adalah foktor yang paling dominan mempengaruhi pemilih untuk tidak
menggunakan hak pilihnya pada Pilpres 2009
yaitu sebesar 15,9%.
Hingga
saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh para pengamat atau
penyelenggara Pemilu tentang penyebab adanya Golput. Pertama, administratif.
Seorang pemilih tidak ikut memilih karena terbentur dengan prosedur
administrasi seperti tidak mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam
daftar pemilih dan sebagainya. Kedua, teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut
memilih karena tidak ada waktu untuk memilih seperti harus bekerja di hari
pemilihan, sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan
sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik
(political engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik
dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang
penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak menggunakan hak
pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk tidak memilih. Pemilu
legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti.
Atau tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan sebagainya (Eriyanto ;
2007).
2.2 PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Politik
merupakan salah satu sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan
masyarakat sehingga apapun program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah
sesuai dengan keinginan-keinginan masyarakat dimana tujuan yang dicita-citakan
dapat dicapai dengan baik.
Partisipasi
politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara
aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Pemilihan
umum merupakan sarana yang bersifat demokratis untuk membentuk sistem kekuatan
negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan
oleh Undang-Undang Dasar negara.
Golput
adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas
menolak memberikan suara dalam pemilu.
2.
Analisa Penyebab Golput
Berdasar
pemaparan secara teoritis dan tinjauan penelitian sebelumnya ada perbedaan
pendapat para ahli dan temuan hasil penelitian tentang fenomena golput. Menurut David Moon ada perilaku non-voting
yaitu pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih serta
karakteristik institusional sistem pemilu; dan kedua, menekankan pada harapan
pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau
tidak hadir memilih.
Merujuk
pedapat Arbi Sanit golput dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu Pertama,
menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua , menusuk bagian putih dari kartu
suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak
menggunakan hak pilih. Sedangkan menurut Novel Ali dapat di bagi dua kelompok
golput awam dan kelompok golput pilihan.
Secara lebih detail diuraikan oleh Eep Saefulloh Fatah golput teknis, golput
teknis-politis golput politis dan golput ideologis.
Hasil
penelitian Tauchid Dwijayanto dalam kasus pilkada Jawa Tengah ada tiga yang
menyebabkan terjadinya golput yaitu lemahnya sosialisasi, masyarakat lebih
mementingkan kebutuhan ekonomi dan sikap apatisme masyarakat. Berdasarkan hasil
temuan Efniwati ada dua hal yang menyebabkan pemilih golput
yaitu faktor pekerjaan dan faktor lokasi
TPS. Kemudian Eriyanto mengatakan ada empat alasan mengapa pemilih golput yaitu
karena administratif, teknis, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada
politik (political engagement) dan
kalkulasi rasional.
Berangkat
dari penjelasan ini dalam pemahaman penulis faktor yang menyebabkan masyarakat
untuk tidak menggunakan hak pilihnya secara sederhana dapat di klasifikasikan
kedalam dua kelompok besar yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor
ekternal. Faktor internal yang penulis maksud adalah alasan pemilih untuk tidak
menggunakan hak pilih dalam pemilu bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan
ekternal alasan tersebut datang dari luar dirinya. Secara terperinci dapat
dilihat pada tabel berikut ini
Tabel 1.2. Faktor Internal dan
Ekternal Penyabab Pemilih Golput
1. Faktor Internal
Tabel
di atas menunjukkan tiga alasan yang datang dari individu pemilih yang
mengakibatkan mereka tidak menggunakan hak pilih. Diantaranya alasan teknis dan
pekerjaan pemilih.
a. Faktor Teknis
Faktor
teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang
dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih.
Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada
kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi
pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS
untuk menggunakan hak pilihnya.
Faktor
teknis ini dalam pemahaman dapat di klasifikasikan ke dalam dua hal yaitu
teknis mutlak dan teknis yang bisa di tolerir. Teknis mutlak adalah kendala
yang serta merta membuat pemilih tidak bisa hadir ke TPS seperti sakit yang
membuat pemilih tidak bisa keluar rumah. Sedang berada di luar kota. Kondisi
yang seperti yang penulis maksud teknis mutlak. Teknis yang dapat di tolerir
adalah permasalahan yang sifatnya sederhana yang melakat pada pribadi pemilih
yang mengakibat tidak datang ke TPS. Seperti ada keperluan keluarga,
merencanakan liburan pada saat hari pemilihan. Pada kasus-kasus seperti ini
dalam pemahaman penulis pemilih masih bisa mensiasatinya, yaitu dengan cara
mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilih terlebih dahulu baru melakukan
aktivitas atau keperluan yang bersifat pribadi.
Pemilih
golput yang karena alasan teknis yang tipe kedua ini cenderung tidak mengetahui
essensi dari menggunakan hak pilih, sehingga lebih mementingkan kepentingan
pribadi dari pada menggunakan pilihnya. Pemilih ideal harus mengetahui dampak
dari satu suara yang diberikan dalam pemilu. Hakikatnya suara yang diberikan
itulah yang menentukan pemimpin lima tahun mendatang. Dengan memilih pemimpin
yang baik berarti pemilih berkontribusi untuk menciptakan masa depan yang lebih
baik pula.
b. Faktor Pekerjaan
Faktor
pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini
dalam pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak
memilih. Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta
orang yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta
orang (39,88 persen), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang
(20,68 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54
persen).
Data
yang hampir sama di Provinsi Kepuluan Riau berdasrakan Data BPS 2010, sebanyak
31,9% penduduk bekerja di sektor industri, sektor jasa kemasyarakatan sebesar
20,7%, sektor perdagangan sebesar 18,18% dan pertanian dan perkebunan 13,5%.
Data
di atas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor
informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja.
Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka
bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek,
buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang
mengharuskan mereka untuk meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut,
penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena
faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS.
Maka
dalam pemahaman penulis faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor
internal membuat pemilih untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini
dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang
penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih.
2. Faktor Eksternal
Faktor
ektenal faktor yang berasal dari luar yang mengakibatkan pemilih tidak
menggukan hak pilihnya dalam pemilu. Ada tiga yang masuk pada kategori ini
menurut pemilih yaitu aspek administratif, sosialisasi dan politik.
a. Faktor Administratif
Faktor
adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang
mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak
terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki
identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat
pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan
hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Kasus pemilu legislatif 2009
adalah buktinya banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak bisa ikut dalam
pemilu karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Jika kondisi yang seperti ini
terjadi maka secara otomatis masyarakat akan tergabung kedalam kategori golput.
Faktor
berikut yang menjadi penghalang dari aspek administrasi adalah permasalahan
kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak memilki KTP. Jika masyarakat tidak
memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena
secara administtaif KTP yang menjadi rujukkan dalam mendata dan membuat DPT.
Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan
di satu tempat.
b. Sosialisasi
Sosialisasi
atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan
dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di
Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota,
gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan
pemilihan yang lebih kecil RT/ RW.
Kondisi
lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan
partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu
diikuti oleh sebagian peserta pemilu
yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu
2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai
politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut
perlunya sosialisasi terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut
perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu
sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya
memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih lambang juga harus
memilih nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan
adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi
dengan cara menandai.
c.
Faktor Politik
Faktor
politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik
masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya
pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan
membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk
tidak menggunakan hak pilihnya.
Banyak
yang mengira bahwa orang-orang yang memilih golput adalah sekelompok orang yang
kurang memiliki kepedulian pada kehidupan bangsa. Padahal bukan itu sebenarnya
yang ada di hati mereka. Pada beberapa pemilihan pemimpin terdahulu mereka
bersikap skeptis karena memandang bahwa tidak akan ada bedanya siapapun yang
memimpin suatu daerah karena ketidaktersediaan calon pemimpin yang akan mampu
memberikan perubahan. Setiap calon hanyalah orang-orang berkualitas sama.
Janji-janji yang dilontarkan luar biasa muluk sehingga secara logika susah
dicerna akal bagaimana cara mereka akan memenuhinya nanti. Bagi pemimpin model
ini yang penting terpilih dulu, soal janji pikir belakangan. Semua mengklaim
bahwa mereka adalah yang terbaik tanpa didukung bukti nyata. Tidak memiliki
semangat menentang arus besar kapitalisme dan keberpihakan kepada perekonomina
rakyat kecil.
Stigma
politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya
memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat
enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian
politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati
masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini
meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Faktor
lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang dekat dan
memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan para
petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri
pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau
pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik
mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai,
kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini
menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang
di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik
(fatsoen).
Politik
pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian
masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara
mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita, politik dengan
melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung, memilih jika ada
mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan
lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji. Kondisi-kondisi yang
seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk
menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan
politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi
yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak
baik.
Masyarakat
yang sudah putus asa dan kecewa dengan pemerintah, mungkin dengan alasan karena
pemerintah yang lembek atau tidak tegas, kinerja buruk dan banyak hal lain yang
bisa dijadikan mindset untuk kecewa dengan pemerintah. Dalam Islam, putus asa adalah dosa.
Memang pemerintah banyak masalah, akan tetapi mereka tetap bekerja untuk lebih
baik dari hari ke hari. Bayangkan apabila masyarakat Golput semua, siapa yang
memegang pemerintahan selanjutnya???. Pemegangnya tetap pemerintah yang lama
dan akibatnya pasti akan muncul konflik bersaudara karena tidak adanya pemimpin
yang dapat diandalkan, kemudian selanjutnya militerlah yang menjadi pemimpin,
apakah masyarakat mau kita dalam kondisi caos seperti di Mesir dan daerah
lain???. Betapa kondisi saat ini lebih
baik dari pada kondisi apabila Indonesia caos???. Mungkin masyarakat
yang membanggakan Golput pikirannya tidak sampai kepada hal ini/kondisi ini,
untuk itu saya mengajak mereka untuk berpikir lebih cerdas dalam memandang
masalah.
Partai yang tidak lolos verifikasi mengajak
rakyat untuk golput. Apakah partai tersebut partai yang sudah bener
100%??? Artinya kalau tidak ada partai itu maka negara atau pemerintahan ini
hancur atau tidak beres???, Menurut saya partai seperti itu adalah partai
sampah, menghasut
masyarakat untuk kepentingan sendiri. Seperti cerita anak kecil yang
ngambek tidak dibelikan mainan, dan dia tidak bisa menerima alasan dengan
cerdas, artinya partai ini partai yang diisi oleh orang-orang yang tidak
cerdas, apakah anda mau memilih, apabila di 2019 mereka lolos verifikasi???
Sekumpulan atau segolongan masyarakat yang
keinginannya tidak terpenuhi, dan mereka mengancam akan golput apabila tidak
dipenuhi. Seperti anak kecil yang mengancam mamanya untuk tidak mau
makan apabila tidak dibelikan mainan yang dimintanya, merengek-rengek dan
menangis. Anak tersebut tidak bisa diajak berbicara dengan cara cerdas,
menerima alasan (mungkin) orang tuanya sedang tidak punya uang atau memiliki
halangan lainnya.
Dalam hal ini, mereka bisa mengajak masyarakat lainnya untuk
berdemo, dengan membayar beberapa uang per hari per orang. Bayangkan seribu orang berdemo di depan
Istana Presiden selama 6 hari, (@Rp.50.000 per orang per hari X 10.000 Orang, X
6 hari), maka dengan hanya Rp.3.000.000.000,- dampaknya dapat
menggagalkan pemilu yang anggaranya 47 T, dan karena gagal akibat pemilu
dianggap tidak memenuhi syarat maka pemilu akan diulang lagi dengan dana yang
kurang lebih sama. Golput atau tidaknya masyarakat, tidak akan
mengurangi anggaran biaya yang dikeluarkan dalam sebuah proses pemilihan baik
pilkada atau pemilu. Hal ini justru akan membuat biaya yang dikeluarkan negara
menjadi mubazir, terutama biaya pengadaan sarana dan prasarananya. Kemudian
semakin banyak golput akan membuat hasil pemilihan semakin tidak akurat dan
memperbesar peluang diadakannya pemilihan ulang. Artinya akan diperlukan biaya
tambahan yang cukup besar untuk mengadakan pemilihan ulang. Biaya yang
seharusnya bisa dialokasikan untuk membantu rakyat miskin baik untuk biaya
pendidikan dan kesehatan akan habis digunakan untuk membiayai sebuah pemilihan
ulang.
Masyarakat yang menganggap bahwa Golput
merupakan bentuk sikap protes kepada negara atau pemerintah. Ingat ada
atau tidak ada suara dari si Golput, tetap akan ada pemenang dan pemerintahan
tetap akan berjalan, dan sikap protes ini sama sekali tidak akan berpengaruh
apapun, kecuali bagi orang yang sengaja melahirkan atau menciptakan mindset
golput karena alasan-alasan pribadi/golongan (mungkin beberapa alasan diatas).
Partai
politik secara fungsional berperan sebagai sarana pendidikan
politik,sosialisasi politik dan artikulasi kepentingan.Namun,jelang pemilihan
umum 2014 peran-peran konseptual itu,ini jelas tidak sesederhana seperti yang
masyarakat pikirkan karena partai politik saat ini dihadapkan dengan kenyataan
pemilih yang lebih cenderung memilih karena berapa besar bantuan yang bakal
mereka terima dari calon legislatif yang diusung partai politik.Dan fakta
politik pada pemilihan umum 2009 tidak sedikit modal finansial yang dikeluarkan
calon legislative. Partai politik dihadapkan dengan fenomena politisi yang
berkualitas tapi tidak punya finansial yang kuat dan politisi yang punya modal
kuat tapi tidak berkualitas.Disinilah fleksibilitas politik itu dimainkan,dan
penulis berharap kedua hal itu bisa bersinergi dengan baik.
Pemilihan
umum dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa
dipisahkan.pemilihan umum membutuhkan partai politik sebagai
pesertanya.sedangkan partai politik membutuhkan pemilihan umum sebagai sarana
memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet.
Dewasa
ini partai politik seakan tidak berjalan dengan fungsinya bahkan menyimpang hal
ini berdampak dalam pemihan umum yang bisa jadi membuat rakyat pesimis
dikarenakan sejumlah kasus dugaan korupsi yang menyeret nama kader-kader partai
besar.sebut saja politisi Partai Demokrat yaitu M Nazarudin,Angelina
Sondakh,Hartati Murdaya dan ketua umum Anas urbaningrum,dari Golkar ada
Zulkarnaen Djabar yang tersandung kasus korupsi pengadaan Al Quran,ada juga
mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang menjadi
tersangka kasus dugaan suap impor daging sapi.Perilaku korup para politisi ini
membuat pilu pemilih menjelang pemilihan umum tahun 2014 yang dikhawatirkan
membuat masyarakat malas menggunakan hak pilihnya dan menjadi golongan putih
atau golput.
Tingkat
partisipasi rakyat dalam setiap pemilu memiliki kecenderungan menurun ternyata
tidak mendorong partai politik untuk memperbaiki kinerjanya,kasus korupsi yang
menimpa kader salah satu partai poliik bisa jadi berdampak buruk ke partai lain
yang kadernya tidak terjerat kasus korupsi karena respon masyrakat yang mengenaralisasi
semua partai politik korupsi dan tinggal nunggu giliran kebongkar.
Hanya
ada dua pilihan yang akan terjadi terkait meerosotnya moral partai dan
hubungannya dengan partisipasi pemilu.pertama adalah para pemilih golput atau
akan pindah ke lain hati dalam arti partai politik tapi kemungkinan ini kecil
karena kekecewaan terhadap partai politik yang berpesan anti korupsi yang
ternyata korupsi menimbulkan sifat apatisme terhadap semua parpol.
Alasan Utama yang diangkat untuk GOLPUT:
1. Pemerintah tidak becus mengurus
pemerintahan
Dinegara
(umumnya negara berkembang) manapun permasalahan pemerintahan tetap ada, coba
hitung jumlah kasus pemerintah daerah kabupaten/kota/propinsi, berapa jumlah
yang pemerintah yang bermasalah dan yang tidak bermasalah???.
2. Pemimpin/pejabat banyak yang
korup
Dinegara
berkembang manapun korupsi tetap ada, orang yang bejat tetap ada, peluang
tersebut yang harus diminimumkan dengan penegakan hukum yang tegas, dan
masyarakat memilih orang dengan tepat.
3. Partai banyak yang bermasalah
dengan hukum
Bukan
partai yang bermasalah, tetapi orang yang mengisi dan itu tidak semua, ingat
tidak semua, makanya mulai sekarang cerdaslah dalam memilih, jangan mau memilih
hanya karena uang Rp.50.000 atau Rp.100.000.
3. Solusi
Golput dalam
pemilu perlu diminimalisir dengan memahami akar permasalahan yang menyebabkan.
Jika golput disebabkan kurangnya sosialisasi yang dilakukan pihak penyelenggara
dan pemberikan pendidikan politik oleh setiap partai politik, maka diperlukan
langkah bijak dari para politisi dan KPU untuk terus melakukan sosialisasi
pendidikan politik. Peningkatan jumlah golput jenis ini dalam pemilihan umum
sebaiknya dapat menjadi bahan interospeksi bagi partai politik dan KPU, untuk
bisa memperbaiki setiap tahapan pemilihan mulai pendataan pemilih hingga
sosialisasi.
Golput
yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para
petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk
mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk
mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah
berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel di tempat-tempat
strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif
melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau
petugas pendataan. Langkah berikut untuk
menimalisir terjadi golput karen aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan
data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP)
yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif
dalam menimalisir golput administratif.
Golput
jika alasannya hanya karena faktor malas atau tingkat kesibukan dalam
beraktivitas, maka tingkat kesadaran akan tanggung jawab kebangsaan dan
kenegaraan perlu diberikan. Kelompok jenis ini adalah kelompok a-politis yang
perlu disadarkan. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar
berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi,
apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka
sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.
Golput
karena merasa calon pemimpin yang ada, dianggap kurang kredibel juga akan
merugi. Karena dengan golput seperti ini akan terpilih calon pemimpin yang
tidak diinginkan, jika karena calon yang ada mengobral janji yang muluk-muluk
yang tidak mungkin direalisasikan sudah tentu partai politik bisa memperbaiki
recruitment kadernya.
Golput
jika karena tidak ada yang bayar, atau mencoblos karena membela yang bayar.
Na’udzubillah…wana’udzubillah. Ampunilah kami Ya Tuhan dan semoga kita semua
adalah orang yang beriman. Amiin.
Masyarakat
yang merasa tidak ada pilihan pemimpin yang bagus yang dapat dipilih, atau
tidak ada yang sesuai dengan keinginan masyarakat, sehingga mereka merasa tidak
ada artinya memilih siapapun. Ingat
tidak ada yang sempurna di dunia ini, apabila kita fokus pada kejelekan orang
maka yang tampak adalah kejelekannya saja, dan sama sekali orang tersebut tidak
ada kebaikannya sama sekali. Kita harus cerdas dalam berpikir, kemungkinan
kejelekan-kejelekan calon tersebut sengaja dihembuskan oleh lawan-lawan
pilihnya. Cobalah berpikir, anda pun
apabila menjadi pemimpin belum tentu menjadi pemimpin yang baik, apalagi yang
terbaik??? Mungkin juga calon yang ikut adalah calon atau orang yang
tidak kita kenal sebelumnya, maka solusinya adalah segera carilah referensi
tentang orang-orang tersebut. Cara
mudahnya, misalnya ada dua calon si “a” dan si “b”, maka tanyakan kepada
pendukung si “b” tentang kejelekan dan kebaikan si “a”, dan sebaliknya tanyakan
kepada pendukung si “a”, tentang kebaikan dan kejelekan si “b”, insyaallah anda
akan mendapatkan jawaban yang lebih obyektif dan adil. Coba belajarlah
berpikir dari kondisi keterbatasan yang telah ada, diantara pilihan-pilihan tersebut pasti ada
yang menjadi pemimpin yang terpilih untuk memimpin, maka berpikirlah untuk berpikir dari pada si
“a”, lebih baik si”b”, dan dari pada si “b” lebih baik si “c”, maka putuskanlah
yang terbaik bagi anda??? itu adalah cara berpikir dalam manajemen resiko, kita
berusaha meminimalkan resiko, bukan menghilangkan resiko, karena kita harus
sadar bahwa siapapun dan apapun usaha kita tetap ada resiko.
Ada
beberapa hal yang harus masyarakat kawal jelang setahun pemilihan umum 2014
nanti dikelar. Pertama,partai poltik, masyrakat harus mampu mendorong partai
politik agar tidak mencalonkan politisi busuk menjadi calon legislatif dan
diharapkan partai politik mencalonkan orang-orang yang punya moralitas dan
integritas sebagai calon legislatifnya atau caleg berkualitas. Kedua, menjadi
pemilih cerdas,menjadi pemilih cerdas pada pemilihan umum 2014 nanti bukanlah
pilihan tapi sudah menjadi suatu keseharusan. Kita bisa lihat bagaimana pada
pemilihan umum 2009 yang lalu kita dengan mudah terbuai oleh janji-janji
politik para politisi tanpa melihat apa yang telah mereka perbuat hari ini
selain kunjungan kerja keluar daerah dan luar negeri, yang menyakitkan sebagian
dari mereka juga jarang turun kemasyarakat sehingga tidak mampu menghasilkan
aturan-aturan yang berpihak terhadap masyarakat. Kini sudah saatnya kita
menjadi pemilih cerdas yang mampu memilah sebelum memilih.
Inilah
saat yang tepat bagi kaum golput untuk mengambil peran. Saatnya untuk
menunjukkan bahwa orang-orang yang dulu memilih golput pada dasarnya memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap kemajuan bangsa. Golput umumnya didominasi oleh
orang-orang yang memiliki sikap kritis di atas rata-rata. Bagi mereka pemilihan
pemimpin suatu wilayah harus menghasilkan perubahan positif. Tanpa harapan itu
lebih baik mereka tidur di rumah dari pada membuang-buang energi dan secara
tidak langsung malah ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan suatu daerah
akibat salah memilih pemimpin.
Bagi
mereka memilih seorang pemimpin bukanlah tindakan main-main. Sesering apapun
iklan di televisi, sekotor apapun tembok-tembok di seluruh kota dia kotori
dengan gambarnya, selebar apapun baliho yang dia pasang tidak akan bisa
mempengaruhi persepsi mereka terhadap seseorang. Mereka adalah orang-orang yang
berpikir logis dan hanya percaya jika ada bukti, bukan janji apalagi promosi.
Golongan ini menuntut bahwa seorang calon pemimpin harus memenuhi kriteria:
1. Prestasinya sudah terbukti dan diakui secara nasional
maupun intenasional, bukan terkenal karena karbitan.
2. Dicintai oleh sebagian besar rakyatnya, bukan dicaci
apalagi dimusuhi.
3. Program kerjanya logis dan terbukti pernah sukses
diterapkan, bukan hanya janji-janji muluk yang kemudian dilupakan.
4. Kisah suksesnya sudah sering muncul di media masa jauh
sebelum pemilihan dilakukan, bukan merupakan iklan dadakan yang dibuat
tergesa-gesa untuk keperluan kampanye.
BAB
III
PENUTUP
Angka
masyarakat yang tidak memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus
meningkat. Dari pembahasan tulisan ini tergambar setidaknya ada lima faktor
yang membuat orang tidak memilih mulai
dengan faktor teknis dan pekerjaan merupakan faktor internal serta faktor
ekternal yang terdiri dari administratif, sosialisasi dan politik. Kelima
faktor ini berkontribusi terhadap
meningkatnya angka golput. Harus ada upaya yang maksimal untuk memenimalisir
meningkatnya angka masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas
pemilu secara tidak langsung juga dilihat dari legitimasi pemimpin yang
terpilih. Semakin kuat dukungan rakyat semakin kuatlah tingkat kepercayaan
rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta 1986
Kansil, C.S.T Drs. S.H, Memilih dan Dipilih, Pradnya Paramita,
Jakarta 1986
http://politik.kompasiana.com/2012/07/08/kala-para-pendekar-golongan-putih-turun-gunung-476275.html
JURNAL-ILMU-PEMERINTAHAN-BARU-KOREKSI-last_57_66
0 Komentar untuk "MAKALAH "GOLPUT""