Hadhy Ghathan

Menyajikan berberapa artikel yang di butuhkan bagi siswa

Blog Archive

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Gallery

Follow us on FaceBook

About

Popular Posts

MAKALAH THAHARAH, HADAS, NAJIS, DAN MAKNA SOSIAL IBADAH



BAB I
PEDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG

Kaum muslimin sangat memperhatikan masalah thaharah. Dan banyak buku yang mereka tulis tentang hal itu. Mereka melatih dan mengajar anak-anak mereka berkenaan dengan thaharah. Ulama Fiqh sendiri menganggap thaharah merupakan satu syarat pokok sahnya Ibadah. Tidaklah berlebihan jika Muhammad Jawad Mughniyah (pengarang Buku Fiqih Lima Mazhab) mengatakan bahwa “Tidak ada satu Agama pun yang betul-betul memperhatikan Thaharah seperti agama islam”.
Sebagai agama yang menjaga kesucian lahiriyah maupun batiniyah, Islam telah mengatur segala hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dalam Islam, istilah menyucikan lahiriah ini dikenal dengan istilah thaharah. Thaharah adalah kegiatan bersuci yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam, saat melakukan hal-hal tertentu. Seperti halnya melaksanakan shalat dan tawaf.
Thaharah merupakan pembahasan yang sangat penting untuk dikaji. Karena thaharah merupakan sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang, saat akan melakukan hal-hal tertentu. Oleh karena itulah, dalam makalah ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal  tersebut.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Thaharah dan dalilnya?
2.      Apa pengertian dan macam – macam jenis hadist?
3.      Apa alat dan cara membersihkan hadas dan najis?
4.      Apa hal – hal yang dilarang dilakukan bagi orang yang berhadast?
5.      Apa makna sosial dari thaharah?


BAB II
PEMBAHASAN

1.       Pengerian Thaharah Dan Dalilnya
Thaharah atau bersuci adalah membersihkan diri dari hadats, kotoran, dan najis dengan cara yang telah ditentukan, Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah:222

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.[1]

Firman Allah SWT

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun”.

Dalam hukum islam soal bersuci dan segala seluk-beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting terutama karena diantara syarat-syarat sholat telah di tetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan sholat wajib suci dari hadast dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis.


2.      Pengertian Dan Macam – Macam Najis Dan Hadas
1.      Macam-macam najis dan cara dan mensucikanya.
1.      Najis ringan (Najis mukhaffafah), yaitu najis yang cara mensucikanya cukup dengan cara memercikan air pada yang tempat yang terkena najis, contoh kencing anak laki-laki yang belum makan selain air susu ibunya.
2.      Najis sedang (najis mutawassithah), yaitu najis yang cara mensucikanya harus dicuci dengan bersih hingga hilang bekasnya, baunya atau rasanya. Contoh; darah haid, mani, nanah, dll.
3.      Najis berat (Mughalladah), yaitu najis dengan cara mensucikanya harus dengan dicuci dengan menggunakan air sebanayak 7 kali siraman dan salah satu diantaranya dicampur dengan debu atau tanah yang suci. Najis semacam ini hanya ada satu jenis saja. Yaitu pakaian atau bejana yang terkena jilatan anjing atau babi.
4.      Najis yang dimaafkan (najis Ma'fu), Najis yang sulit dikenal maka dapat dimaafkan meskipun ia tidak di cuci, misalnya; kaki dan ujung celana atau sarung yang tidak dapat diamati najis atau bukan.
Perbedaan antara najis dan hadas
a.       Hadas adalah sesuatu yang dapat membatalkan wudhu dan shalat.
b.      Najis adalah sesuatu yang dapat membatalkan shalat, tidak membatalkan wudhu.

A.    Hadas adalah kondisi tidak suci yang mengenai pribadi seseorang muslim, menyebabakan terhalangnya-orang itu melakukan shalat atau tawaf. Artinya Shalat dan tawaf yang dilakukan tidak sah karena dirinya dalam keadaan berhadas. Menurut ahli fiqih, hadats ada dua kelompok;[2]
a.       Hadas kecil.
Mengeluarkan sesuatu dari dubur atau kubul yang berupa;
Ø  Air kencing.
Ø  Tinja.
Ø  Kentut.
b.      Hadas besar.
Ø  Mengeluarkan mani.
Ø  Hubungan kelamin.
Ø  Terhentinya haid dan nifas.
2.      Yang dimaksud dengan najis menurut bahasa adalah kotor dan menjijikkan. Sedangkan menurut syara, makna najis adalah suatu kotoran yang dapat menghalangi sahnya shalat atau tawaf.

C.    Alat Dan Cara Membersihkan Hadas Dan Najis

Alat-Alat Yang Digunakan Untuk Berthaharah

1. Air
2. Debu
3. Batu, kertas, daun, kayu yang bersih dan tidak terpakai
                        
Klasifikasi Air Dan Penggunaanya Dalam Bersuci
          
1.      Air mutlak (air yang suci lagi mensucikan)
Tidak boleh dan tidak sah mengangkat hadas dan menghilangkan najis melainkan dengan air mutlak.
Air mutlak itu ada 7 jenis, yaitu:
1.      Air hujan
2.      Air laut
3.      Air sungai
4.      Air sumur
5.      Air yang bersumber (dari mata air)
6.      Air es
7.      Air embun.

Ketahuilah tidak sah berwudu dengan fardhu, mandi wajib, mandi sunnat, menghilangkan najis dengan benda cair seperti cuka atau benda beku lainnya seperti tanah dalam bertayamum ..

Air mutlak mempunyai tiga sifat , yaitu :
1)      Tha’mun (Rasa)
2)      Launun (Warna)
3)      Rihun (Bau)

Dan kalau dikatakan air itu berubah maka yang dimaksudkan ialah berubah sifatnya, air mutlak itu terkadang berubah rasanya, warnanya, atau baunya sebab dimasuki oleh sesuatu benda dan benda yang masuk kedalam air itu kadang-kadang mukhlath dan kadang-kadang mujawir,

Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat sebagian mereka mengatakan “ Al-mukhtalat itu ada yang tidak dapat diceraikan dari air”.
Dan sebagian lagi mengatakan “Al-Mukhtalat itu barang yang tidak dapat dibedakan  air menurut pandangan mata”.[3]

Kalau air berubah dengan sesuatu benda yang mujawir yang, cendana, minyak bunga-bungaan, kapur barus yang keras, maka air itu masih dianggap suci yang dapat dipakai untuk ber bercuci, sekalipun banyak perubahannya. Karena perubahan yang sesuatu mujawir itu, ia akan menguap jua. Karena itu air yang seperti ini dinamakan air yang mutlak, ban  dingannya air yang berubah karena diasapkan dengan dupa atau berubaah baunya karena berdekatan dengan  bangkai. Maka air yang seperti ini masih dianggap air yang suci dan dapt dipergunakan untuk bersuci, baik berubah sifatnya.[8]
2.      Air suci tidak mensucikan

Air yang berubah sebab bercampur dengan benda-benda suci lainnya (seperti teh, kopi, dan sirup)[9]. Misalnya juga dengan sabun, tepung, dan lain-lain yang biasanya terpisah dengan air. Hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakan nya masih terpelihara, jika sudah tidak, hingga tidak dapat lagi dikatakan mutlak maka hukumnya ialah suci pada dirinya sendiri, tidak menyucikan bagi lainnya.

3. Air Mutlak yang Makruh memakainya (air yang suci lagi mensucikan tetapi makruh memakainya)
Air yang makruh memakainya menurut hokum syara’ ada delapan macam , yaitu:
1.      Air yang sangat panas
2.      Air yang sangat dingin
3.      Air yang berjemur

4.      Air musta’mal
Air musta’mal adalah air yang bekas dipakai (dipakai berwudhu atau  mencuci najis) atau air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis, kalau memang tidak berubah dan tidak bertambah timbangannya. Jadi airnya suci.

5.      Air  yang terkena najis
Air najis adalah air yang kemasukan benda najis dan air itu kurang dua kolah, tetapi berubah. Maksudnya air yang kemasukan benda najis didalamnya, andai kata air tersebut hanya tertulari bau busuk dari najis yang dibuang dipinggirnya maka air yang demikian ini tidak najis, sebab tidak bertemu langsung dengan najisnya. Dan yang dimaksud dengan berubah andai kata air yang banyak tersebut tidak berubah dengan adanya najis atau najisnya hanya sedikit dan hancur dalam air maka air yang demikian ini juga tidak najis. Dan seluruh air itu boleh digunakan menurut mazhab yang shahih.[4]

Sebagai Contoh :

Menyucikan pakaian yang terkena darah haid

Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia berkata,
إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ

“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّى فِيهِ

“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah. Kemudian shalatlah dengannya.”

Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَيْسَ لِى إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيضُ فِيهِ. قَالَ « فَإِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِى مَوْضِعَ الدَّمِ ثُمَّ صَلِّى فِيهِ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَخْرُجْ أَثَرُهُ قَالَ « يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ »

“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai  pakaian itu juga?”

Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya.”

Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”

Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik[13]. Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يَكُونُ فِى الثَّوْبِ قَالَ « حُكِّيهِ بِضِلْعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ ».

“Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, “Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr (sejenis tanaman)”.





Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengonsumsi makanan

Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki-laki cukup dengan diperciki.”

Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan belum mengonsumsi makanan. Kencing bayi laki-laki dan perempuan sama-sama najis, namun cara menyucikannya saja yang berbeda.

Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits berikut.
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أُخْتِ عُكَّاشَةَ بْنِ مِحْصَنٍ قَالَتْ دَخَلْتُ بِابْنٍ لِى عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَرَشَّهُ.

“Dari Ummu Qois binti Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon), ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa puteraku –yang belum mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi, pen).”[5]

Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi makanan? Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali. Karena seandainya kita katakan  demikian, bayi ketika awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang dimaksudkan tidak mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi makanan sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah jelas. Adapun jika makanan sudah menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan, pen).
Menyucikan tanah

Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ »

“Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah dia kencing), siramlah kencing tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan bukan untuk mempersulit”.”

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh menyiram tanah yang terkena kencing tadi dengan air dengan maksud untuk mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya tanah tersebut dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas najisnya, maka tanah tersebut juga sudah dinilai suci. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing yang keluar-masuk masjid dan kencing di sana, namun dibiarkan begitu saja tanpa disiram atau diperciki dengan air. Beliau berkata,
كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ


“Beberapa ekor anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak memerciki kencing anjing tersebut.”[6]

D.    Hal – Hal Yang Dilarang Dilakukan Bagi Orang Yang Berhadast
1. Hadats Kecil
Orng yang berhadats kecil dilarang melakukan :
a. Shalat
ومن أحدث حرمت عليه الصلاة لقوله صلى الله عليه وسلم لا يقبل الله صلاة بغير طهور
Dan barang siapa yang berhadats diharamkan baginya untuk salat, berdasarkan sabda Rasul SAW : “Allah tidak menerima salat seseorang tanpa suci”

عن ابي هريرة ر.ع.قال :قَال النبيُّ ص.م.لاَيُقْبَلُ اللهُ صلاةَ احدِكُمْ اذا احْدَثَ حتّي يتوضأَ (رواه البخار و مسلم)
Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak akn menerima salat seseorang yang telah berhadats hingga ia berwudlu kembali.” (HR Buchari dan Muslim)
b. Tawaf
ويحرم عليه الطواف لقوله صلى الله عليه وسلم الطَّوَافُ بالبَيْتِ صلاةٌ
dan diharamkan (orang yang berhadats) tawaf berdasarkan sabda Rasul SAW : “Tawaf di baitullah itu sama dengan salat”

c. Memegang dan menyentuh mushaf
ويحرم عليه مس المصحف لقوله تعالى
{ لا يَمَسُّهُ إلا المُطَهَّرُونَ }
Dan diharamkan (bagi orang yang berhadats) memegang mushaf, berdasarkan firman Allah SWT :“ Tidak boleh menyentuh (Qur’an) kecuali orang-orang yang suci. (Al Waqi’ah : 79)”

عن عمر بن حزام رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا تَمَسُّ القرآنَ إلّا وأنتَ طَاهِرٌ
Dari Umar bin Hizam Radliallahu ‘Anhu : sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda : “jangan kau menyentuh Al-Qur’an kecuali kau dalam keadaan suci.”
2. Hadats Besar
Sebab hadath besar adalah junub, keluar haidh atau nifas, dan bersenggama.

a. Apabila seseorang berhadats besar kerana berjunub, maka dia diharamkan untuk melakukan perkara-perkara berikut:
1) Shalat
ومن أحدث حرمت عليه الصلاة لقوله صلى الله عليه وسلم لا يقبل الله صلاة بغير طهور
Dan barang siapa yang berhadats diharamkan baginya untuk salat, berdasarkan sabda Rasul SAW : “Allah tidak menerima salat seseorang tanpa suci”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah .” (QS. Al-Maidah: 6)[7]

43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(QS AnNisa’ ayat 43)

2) Tawaf
ويحرم عليه الطواف لقوله صلى الله عليه وسلم الطواف بالبيت صلاة
dan diharamkan (orang yang berhadats) tawaf berdasarkan sabda Rasul SAW : “Tawaf di baitullah itu sama dengan salat”

3) Menyentuh dan memegang mushaf
ويحرم عليه مس المصحف لقوله تعالى
{ لا يمسه إلا المطهرون }
Dan diharamkan (bagi orang yang berhadats) memegang mushaf, berdasarkan firman Allah SWT :“ Tidak boleh menyentuh (Qur’an) kecuali orang-orang yang suci. (Al Waqi’ah : 79)”

روى حكيم بن حزام رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا تمس القرآن إلا وأنت طاهر
diriwayatkan Hakim bin Hizam Radliallahu ‘Anhu : sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda : “jangan kau menyentuh Al-Qur’an kecuali kau dalam keadaan suci.”

4) Membaca Al-Qur’an
عنِ ابنِ عمر ر.ع. انَّ النَّبيَص.م. قال : لايَقْرَأْ الجُنُبُ ولا الحَاءضُ شَيْءًا من القرأنِ.
Dari Ibnu Umar r.a. bahwasannya Nabi SAW bersabda, “Tidak boleh membaca suaiu ayat alqur’an bagi orang junub dan tidak pula bagi perempuan-perempuan yang haid.” (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)

قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَ بِى طَالِبٍ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص.يُقْرِأُناَ اْلقُرْأَنَ عَلىٰ كُلِّ حَالٍ مَالَـمْ يَكُنْ جُنُبًا – روه اءحمد وابوداود وابن مجه والنسائى والترمذى
Telah berkata Ali bin Abi Thalib : Adlaah Rasulullah SAW sering membacakan Al-Qur’an bagi kami di setiap saat sedang beliau tidak dalam keadaan junub. [HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah dan Timidzi. Ia berkata : Hadis ini hasan sahih]

قَالَ عَلِيُّ : قَالَ النَّبِيُّ ص. إِقْرَأُوْاالْقُرْأٰنَ مَالَمْ تُصِبْ أَحَدَكُمْ جَنَابَةُ فَإِنْ أَصَابَتْهُ فَلاَ وَلَوْ حَرْفًا – الدرقطنى
Ali berkata: Nabi SAW pernah bersabda :”Bacalah Al-Quran selama seseorang dari kamu tidak dalam keadaan janabat, maka apabila dalam keadaan janabat tidak boleh – membacanya – walaupun satu huruf. [HSR Daruquthni]

قَالَ عَلِيُّ : رَأَيْتُ رَسُلُ اللهِ ص. : تَوَضَّأَ ثــُمَّ قَرَأَ شَيْأً مِنَ الْقَرْأٰنِ هكَذٰا لِمَنْ لَيْسَ بــِجُنُبٍ فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلاَ وَلَوْ أٰ يَةً
Ali berkata : Saya pernah melihat Rasulullah SAW berwudhu, kemudian beliau membaca sebagian dari Al-Quran sambil bersabda : Demikian ini (membaca Al-Quran) adalah bagi orang yang tidak berjunub, sedang bagi yang junub tidak boleh –membacanya – walau pun satu ayat.

5) Berdiam diri di dalam masjid
عن عَاإشَةَ ر.ع. قَالتْ : قال رسول اللهِ ص.م. نِّي لااُحِلُّ المَسخِدَ الحَاءِضِ ولاجُنُبٍ
Dari Aisyah ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda,” Sesungguhnya aku tidak membolehkan masjid bagi orang yang haid dan tidak pula bagi orang yang junub.” (HR. Abu Dawud)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi..”(QS. An-Nisa’: 43)

b. Apabila seseorang berhadath besar kerana keluar haidh dan nifas, maka dia diharamkan untuk melakukan perkara-perkara berikut:
1) Shalat
عَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا: أنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ دَمَ الحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلاةِ، فَإِذا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابنُ حِبَّانَ وَالحَاكِمُ، وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Dari Aisyah ra berkata, Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, Darah haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu, janganlah shalat. Bila sudah selesai, maka berwudhu’lah dan lakukan shalat.(HR. Bukhari)

2) Puasa
وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رضيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: أَلَيْسَ إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، قُلْنَ : بلى, فَذلكَ مِنْ نُقْصَانِ.

Dari Abi Said Al-Khudhri ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bukankah bila wanita mendapat haidh, dia tidak boleh shalat dan puasa? Perempuan-perempuan itu menjawab, “ya”itulah tanda berkurangnya kewajiban agamanya.(HR. Bukhari)

3) Tawaf
وَعَنْ عَائِشةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ، فَقَالَ النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم: افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لا تَطُوْفِي بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf di sekeliling ka`bah hingga kamu suci.(HR. Bukhari dan Muslim)

4) Membaca AL-Qur’an, menyentuh, dan membawanya, sebagaimana keterangan dalam perkara hal-hal yang diharamkan ketika junub.

5) Lewat, masuk, duduk, dan beriktikaf di dalam masjid jika dikhawatirkan darahnya menetes pada masjid.
6) Bersenggama
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)
وَعَنْ أَنَسٍ رضيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اليَهُودَ كَانت إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: اصْنَعُوا كُلَّ شَىءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ

`Dari Anas ra. bahwa orang Yahudi bisa para wanita mereka mendapat haidh, tidak memberikan makanan. Rasulullah SAW bersabda, Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan.(HR.Muslim)

وَعَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Aisyahra berkata, Rasulullah SAW memerintahkan aku untuk memakain sarung, beliau mencumbuku sedangkan aku dalam keadaan datang haidh.




7) Talak
Dalam sebuah hadits disebutkan, yang artinya :
“dari Ibnu Umar r.a.bahwasannya ia pada masa Rosulullah pernah menceraikan istrinya, ketika itu iastrinya sedang dalam keadaan haid,lalu bertanya Umar (bapaknya) pada Rosulullah SAW tentang hal itu, maka Rosululah menjawab,`Suruhlah dia merujuki istrinya itu kembali, kemudian hendaklah ia menanti istrinya itu sampai suci kembali, kemudian ia haid lagi dan suci lagi, kemudian jika dikehendakinya boleh ditahannya, dan jika dikehendakinya ia boleh ceraikan sebelum ia campuri.” (HR. Bukhari dan Muslim)[8]

E.     Makna Social Dari Thaharah
Berbicara thaharah tentu tidak bisa lepas dari membicarakan tentang air.Oleh sebab itu, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya thaharah dapat dilakukan, terlebih dahulu pembahasan thaharah diawali dengan menjabarluaskan seluk beluk air.



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Thaharah atau bersuci adalah membersihkan diri dari hadats, kotoran, dan najis dengan cara yang telah ditentukan, Firman Allah swt.
Najis ringan (Najis mukhaffafah), yaitu najis yang cara mensucikanya cukup dengan cara memercikan air pada yang tempat yang terkena najis, contoh kencing anak laki-laki yang belum makan selain air susu ibunya.
Hadas adalah kondisi tidak suci yang mengenai pribadi seseorang muslim, menyebabakan terhalangnya-orang itu melakukan shalat atau tawaf. Artinya Shalat dan tawaf yang dilakukan tidak sah karena dirinya dalamkeadaan tidak berhads. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang terkuat dalam masalah ini bahwasanya najis kapan saja ia hilang dengan cara apa pun, maka hilang pula hukum najisnya. Karena hukum terhadap sesuatu jika  illah (sebab)-nya telah hilang, maka hilang pula hukumnya. Akan tetapi tidak boleh menggunakan makanan dan minuman untuk menghilangkan najis tanpa ada keperluan karena dalam hal ini menimbulkan mafsadat terhadap harta dan juga tidak boleh beristinja’ dengan menggunakan keduanya.

Apabila air kurang dari dua qullah kemudian terkena najis, maka ia menjadi najis. Kecuali, bangkai binatang kecil yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti nyamuk dan sejenisnya, dan najis yang tidak dapat dilihat oleh kasat mata, seperti lalat yang menghinggapi barang najis kemudian jatuh ke dalam air atau najis yang sulit dihindari, seperti percikan air kencing yang tidak tampak, maka kesemuanya itu bila jatuh ke dalam air hukumnya adalah dimaafkan.

DAFTAR PUSTAKA

 Anwar Moch, Fiqih Islam  Tarjamah Matan Taqrib, Bandung: PT Alma’arif, 1987

 H. Muqarrabin, Fiqih awam, Demak: Cv. Media Ilmu, 1997,

Mushtafa, Abid Bishri, Tarjamah Shahih Muslim, Semarang: CV Asy-Syifa, 1993

Al-Gazzi Ibnu Qosim, Hasiyah Asy-Syekh Ibrahim Al-Baijuuri, Baerut: Dar Al-Fikr, 2005

Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim Al-Kafi, Taqrirqtus Sadidah Fi Masailil Mufidah, Surabaya: Dar Al-Ulum Al-Islamiyah, 2006

Abu Bakar Imam Taqiyuddin, Bin Muhammad Alhusaini , Kifayatul Akhyar, Surabaya: Bina Imam, 2003

Muhammad Arsyad Al-Banjari Syekh, Sabilal Muhtadin, (Surabaya: PT Bina Ilmu)



[1] T. Ibrahim dan Darsono, Penerapan Fikih (Solo: PT. Tiga Serangkai Mandiri, 2004)
[2] Anshory Umar Sitanggal, Fiqih Syafi’i Sistematis (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992),
[3] Anshory , Fiqih Syafi’i
[4] Imam Syarqowi, Asy Syarqowi (Bandung: Al-Haromain, 2004),
[5] Imam Syarqowi, Asy Syarqowi (Bandung: Al-Haromain, 2004),
[6] Moneir Manaf, Pilar Ibadah Dan Do’a (Bandung: Angkasa, 1993)
[7] Moneir Manaf, Pilar Ibadah Dan Do’a 
[8] Syeikh Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah khusus
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "MAKALAH THAHARAH, HADAS, NAJIS, DAN MAKNA SOSIAL IBADAH"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top