SUNAN
KALIJAGA
1. Diusir dari Kadipaten
Sunan Kalijaga itu aslinya bernama
Raden Joko Said. Putra dari Arya
Wilatikta yang merupakan Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari
pemberontak legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa
Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya Joko Said.
Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat taklid kepada pemerintahan
pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia menetapkan pajak tinggi kepada
rakyat. Joko Said muda yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai
Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya. Pembangkangan Joko
Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia membongkar lumbung kadipaten dan
membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam
keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.
Karena tindakannya itu, Ayahnya
kemudian ‘menggelar sidang’ untuk mengadili Joko Said dan menanyakan alasan
perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan
pada ayahnya bahwa, karena alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan
ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam
kemiskinan dan kelaparan.
Ayahnya tidak dapat menerima
alasannya ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah
agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya
mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban
dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’
di sini ialah bilamana ia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas
masyarakat karena ilmunya.
Riwayat masyhur kemudian
menceritakan bahwa setelah diusir dari istana kadipaten, Joko Said berubah
menjadi seorang perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur.
Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya
merampok orang kaya yang tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah.
Dari hasil rampokannya itu, sebagian
besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip
dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur tentang
beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’
artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya berubah saat Lokajaya alias
Joko Said bertemu dengan seorang ulama , Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias
Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian menyadarkannya bahwa perbuatan
baik tak dapat diawali dengan perbuatan buruk
sesuatu yang hak tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil sehingga
Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok. Joko Said
kemudian berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama
dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Sejak kecil Raden Said sudah
diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena
melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan
rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden Said seakan
meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban disaat
menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah
sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara,
mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang
ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk
persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden Said putera seorang
bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas, yang tidak terikat adat istiadat
kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala
lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru
karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk
kehidupan rakyat Tuban.
Niat untuk mengurangi penderitaan
rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat
banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan
Majapahit. Tapi niatnya itu tidak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia
sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci
Al-Qur’an maka sekarang dia keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten
tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari
rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada
rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan
mereka.
Tentu saja rakyat yang tak tahu
apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak
diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki
itu karena Raden Said melakukannya dimalam hari secara
sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut
atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang kadipaten juga
merasa kaget, hatinya kebat-kebit karena makin hari barang-barang yang hendak
disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu semakin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri
barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari
kejauhan, dari balik sebuah rumah tak jauh dari gudang kadipaten. Dugaannya
benar, ada seseorang yang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip
penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya pencuri
itu adalah Raden Said putera junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada
adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga
gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang adipati untuk memergoki
pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka
bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar adari
gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit kadipaten
menangkapnya, beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan
ayahnya.
Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan
anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang
hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit.
Tapi untuk itu Raden Said harus
mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya
maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian
disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas
hukuman yang sudah diterimanya?
Sesudah keluar dari hukuman dia
benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat
cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?. Dia
mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta
orang-orang kaya di kabupaten tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat
yang curang.
Harta hasil rampokan itu
diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi
ketika perbuatannya itu mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud
mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati
yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin
perampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga
mengenakan topeng seperti Raden Said juga.
Pada suatu malam Raden Said baru
saja menyelesaikan sholat isya mendengar jerit tangis para penduduk desa
kampunya sedang djarah perampok. Dia segera mendatangi tempat kejadian itu.
Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan
melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang
gadis cantik.
Raden Said mendobrak pintu rumah
sigadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seorang
berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha
mengenakan pakaiannya kembaili. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis
tersebut.
Raden Said berusaha menangkap
perampok itu namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak
terdengar suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain
berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa
perampok tadi menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said jadi panik dan
kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata
terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran
mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang
dibalik topeng itu sang kepala desa menjadi terbungkam. Sama sekali tak
disangkanya bahwa perampok itu adalah putera junjungannya sendiri yaitu Raden
Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu, Raden Said dianggap perampok dan
pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti dan saksi hidup atas kejadian
itu.
Sang kepala desa masih berusaha
menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana kadipaten
tuban tanpa sepengetahuan orang. Tentu saja sang adipati jadi murka. Raden Said
di usir dari wilayah kadipaten tuban.
Pergi dari kadipaten tuban ini! Kau
telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum kau
dapat menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten tuban ini dengan ayat-ayat
Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari.
Sang adipati Wilatikta juga sangat
terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan
kedudukannya ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu, sirna sudah segala
harapan sang adipati.
Hanya ada satu orang yang dapat
mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu
berjiwa luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan
yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan
ibunya dia meninggalkan istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Said untuk
diajak pulang.
2. Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir
dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya
dia menetap dihutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun ia menjadi perampok
budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokkannya itu tak
pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan
atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar
zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya dengan
Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang
berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal lokajaya sudah
mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus
diawasinya orang tua berjubang putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya.
Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah
putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu
jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun,
sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya.
Raden Said pada saat itu sedang mengamati gagang tongkat yang
dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja
terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti
emas. Raden Said heran melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya
kembali tongkat itu. Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.
Bukan tongkat ini yang kutangisi
ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput ditangannya.
Lihatlah ! aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut
ketika aku jatuh tersungkur tadi.
Hanyam beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?
Tanya Raden Said heran.
Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa
sesuatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa.
Tapi untuk sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa jawab lelaki itu.
Hari Raden Said bergetar atas jawaban yang mengandung
nilai iman itu.
Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari dihutan ini?
Saya menginginkan harta?
Untuk apa?
Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang
menderita,.. hem…sungguh mulia hatimu, sayang…caramu mendapatkannya yang
keliru.
Orang tua….apa maksudmu?
Boleh aku bertanya anak muda? Desah orang tua itu.
Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu
benar?
Sungguh perbuatan bodoh sahut Raden Said. Hanya
menambah kotor dan bau pakaian saja.
Lelaki itu tersenyum, demikianlah amal yang kau
lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram atau mencuri
itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing.
Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya.
Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau
halal.
Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu.
Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.
Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu. Agung dan berwibawa namun
mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik dengan lelaki
tua berjubah putih tersebut.
Banyak hal yang terkait dengan usaha mengentaskan
kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa
merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk
miskin. Kau harus memperingatkan pada penguasa yang zalim agar mau mengubah
caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat
agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya.
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang
didambakannya selama ini. Kalau kau tak mau kerja keras dan hanya ingin beramal
dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang
pohon aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah
seorang pemuda sakti dan banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya.
Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan
ilmu sihir. Kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat
mengatasinya.
Tapi setelah mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap
berubah menjadi emas. Berarti orang tua itu tidak menggunakan sihir. Ia
benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan
orang tua itu sehingga mampu merubah pohon menjadi
emas.
Raden Said terdiam beberapa saat ditempatnya berdiri.
Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah jadi emas seluruhnya.
Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu.
Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda
itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan.
Ketika sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah
menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri,
mencari orang tua berjubah putih tadi. Tapi yang dicari nya sudah tidak ada
ditempat.
Ucapan orang tua tadi masih terngiang ditelinganya.
Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian
dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas
kemiskinan.
Raden Said mengejar oarang itu. Segenap kemampuan
dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang tua
itu dari kejauhan.
Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya
tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun terseok-seok dan
berlari lagi, demikianlah setelah tenaganya habis terkuras dia baru bisa sampai
dibelakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena
kehadiran Raden Said melainkan didepannya terbentang sungai cukup lebar. Tak
ada jembatan dan sungai itu tampaknya sangat dalam dengan apa dia harus
menyeberang.
Tunggu……, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu
hendak melangkahkan kakinya lagi.
Sudilah kiranya tuan menerima saya sebagai
murid…..pintanya.
Menjadi muridku? Tanya orang tua itu sembari menoleh.
Mau belajar apa?
Apa saja, asal tuan manerima saya sebagai murid….
Berat, berat sekali anak muda, bersediakah engkau
menerima syarat-syaratnya?
Saya bersedia….
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya ditepi
sungai. Raden Said diperintah menunggui tongkat itu. Tak boleh beranjak dari
tempat itu sebelum orang tua itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang
mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan diatas air bagaikan
berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air, ia semakin yakin
calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin
saja golongan para wali.
Setelah lelaki tuan itu hilang dari pandangan Raden
Said, pemuda ini duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya
didalam Al-Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan
supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi ratusan tahun yang silam.
Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya
selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati tubuhnya dan hampir
menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang
menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah
mengumandangkan adzan pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang
bersih. Kemudian dibawa ke tuban mengapa dibawa ke tuban? Karena lelaki
berjubah putih itu adalah sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran
agama sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para waliyullah. Dikemudian hari
Raden Said terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai, karena dia
pernah bertapa ditepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah
penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya
tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said
dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi
selalu membawa tongkat atau pegangan hidup., itu artinya Sunan Bonang selalu
membawa agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau
agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun kedalam
kancah masyarakat jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih
berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan diatas air sungai tanpa
amblas ke dalam sungai. Bahkan tidak terkena percikan air sungai. Itu
artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa
kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
3. Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan
kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup.
Terlebih setelah usah adipati tuban menangkap para perampok yang mengacau
kadipaten tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika terguncang.
Kebetulan saat ditangkap oleh prajurit
tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis
dengan yang dikenakan oleh Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat
terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah adipati tuban bahwa
Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis
sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat
disayanginya itu, sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya itu
bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke tuban. Hanya saja tidak langsung ke istana
kadipaten tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Untuk mengobati kerinduan sang ibu,
tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an
jarak jauh lau suaranya dikirim ke istana tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu
benar-benar menggetarkan dinding istana kadipaten. Bahkan mengguncangkan
isi hati adipati tuban dan isternya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan
dirinya. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya
kembali. Pada akhinya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak
terkirakan betapa bahagianya adipati tuban dan isterinya menerima kedatangan
putera-puterinya yang sangat dicintainya itu. Karena Raden Said tidak bersedia
menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan adipati tuban diberikan
kepada cucunya sendiri yaitu putera Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan
pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di jawa tengah hingga
ke jawa barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat
ditermia dan dianggap sebagai guru suci se tanah jawa. Dalam usia lanjut beliau
memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang
beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangan nya diterima di sisi
Allah.
0 Komentar untuk "SUNAN KALIJAGA"