Pajak Penghasilan Pasal 21
A. Pengertian Pajak penghasilan Pasal 21
adalah pajak atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan.
Dasar hukum Pajak Penghasilan PPh
pasal 21 yaitu :
·
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
·
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
·
Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007
tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak,
Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan
Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
·
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya
yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan
·
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
·
Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena
Pajak.
B. Pemotong PPh Pasal
21
Ø Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi
dan badan.
Ø Bendaharawan pemerintah baik Pusat maupun
Daerah
Ø Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
Ø Perusahaan dan bentuk usaha tetap.
Ø Yayasan, lembaga, kepanitia-an, asosiasi,
perkumpulan, organisasi massa, organisasi sosial politik dan organisasi lainnya
serta organisasi internasional yang telah ditentukan berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan.
Ø Penyelenggara kegiatan.
C. Penerima Penghasilan yang tidak dipotong PPh
Pasal 21
1) Pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat:
Ø bukan warga
negara Indonesia dan
Ø di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
2)
Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan
Menteri Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di
Indonesia.
D. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah
:
a) penghasilan
yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur
berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium
anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang
lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri,
tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus,
tunjangan transpot, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan
pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan
penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;
b) penghasilan
yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai
secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan
cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan
penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
c) upah harian,
upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau
mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang
merupakan calon pegawai
d) uang tebusan
pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon dan
pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja;
e) honorarium,
uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi,
bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri,
terdiri dari : tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan,
Notaris, Penilai, dan Aktuaris)pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak,
bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto
model, peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;
E. Penerima penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21
1.
Pegawai Tetap
a.
Pengertian Pegawai Tetap
Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota
dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus
ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja
berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang
bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.
b.
Dasar Hukum:
· Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun
2009
· Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
· Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.
03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan
c. Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21
Pegawai Tetap adalah Penghasilan Kena Pajak
d.
Biaya Jabatan
Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-250/PMK. 03/2008, besarnya biaya jabatan
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan
Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap ditetapkan sebesar 5% dari
Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 6.000.000,00 setahun atau Rp
500.000,00 sebulan.
e.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah bagi:
Ø Wajib Pajak :Rp 15.840.000,-
Ø Tambahan status kawin :Rp 1.320.000,-
Ø Istri Bekerja :Rp 15.840.000,-
Ø Tambahan tanggungan
: Rp 1.320.000,- (Maksimal 3)
F.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
Penghasilan yang diterima atau diperoleh
Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak
teratur
G. Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21
Tidak termasuk
dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
1. Pembayaran
manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
2. Penerimaan
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan oleh
Wajib Pajak atau Pemerintah
3. Iuran pensiun
yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada
badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
4. Zakat yang
diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang
pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah;
5. Beasiswa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh
Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan.
H. Menghitung Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan
Kena Pajak bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan neto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Besarnya
penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah
seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
1.
Biaya jabatan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak
Penghasilan;
2.
Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
I. PTKP bagi Karyawati
Besarnya PTKP
bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
1.
Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
2.
Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP
untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Dalam hal
karyawati kawin dapat menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah
setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya tidak menerima
atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri
ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya
J. Tarif Pemotongan PPh Pasal 21
Bagi Pegawai
Tetap tarif PPh Pasal 21 adalah berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak, yaitu:
· Penghasilan s.d Rp 50.000.000, tarif 5%
· Penghasilan s.d Rp 50.000.000 s.d. Rp
250.000.000, tarif 15%
· Penghasilan Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000,
tarif 25%
· Penghasilan di atas Rp 500.000.000, tarif 30% \
K. Ketentuan Penghitungan PPh Pasal 21
1. Untuk
perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak
terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh
selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Perkiraan atas
penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1
(satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
b) Dalam hal
terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur, maka perkiraan
penghasilan yang akan diperoleh salama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah
pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.
2. Jumlah PPh
Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak adalah:
a) Atas
penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang
atas jumlah penghasilan teratur dibagi 12 (dua belas)
b) Atas penghasilan yang bersifat tidak teratur
adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang, atas jumlah
penghasilan tidak teratur dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah
penghasilan teratur
l.
Pegawai Pindahan Baru
Dalam hal
pegawai tetap mempunyai kewajiban pajak subjektif terhitung sejak awal tahun
kalender dan mulai bekerja setelah bulan januari, termasuk pegawai yang
sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor
pengali sebagaimana dimaksud pada angka (1) atau faktor pembagi sebagaimana
dimaksud pada angka (2) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak
yang bersangkutan mulai bekerja.
m.
Pegawai Berhenti Bekerja
Dalam hal
pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan desember dan jumlah PPh Pasal 21
yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh
pasal 21 yang terhutang untuk 1 (satu) tahun pajak, maka kelebihan PPh Pasal 21
yang telah dipotong tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang
bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling
lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.
n.
Penghitungan PPh Pasal 21 Masa Terakhir
Sehubungan
sudah tidak adanya lagi SPT Tahunan PPh Pasal 21, maka besarnya PPh Pasal 21
yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak
Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu)
tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong
pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan. Masa Pajak
terakhir adalah masa Desember atau masa pajak tertentu di mana pegawai tetap
berhenti bekerja.
o.
Pegawai Asing
Dalam hal
pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya hanya meliputi bagian tahun pajak,
perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut
dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan
jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.
n. Tarif PPh Pasal 21 bagi yang tidak
Mempunyai NPWP
a) Bagi Penerima
Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua
puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak.
b) Jumlah PPh
Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
120 % (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya
dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
c) Pemotongan PPh
Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh
Pasal 21 yang bersifat tidak final.
d) Dalam hal
penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih
tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya
setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Saat Terutang PPh Pasal 21
1) PPh Pasal 21
terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada
saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
2) PPh Pasal 21
terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa
pajak.
3) Saat terutang
untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan
dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang
bersangkutan.
Contoh
Perhitungan:
Tommy bekerja
pada perusahaan PT Multi Dinamika dengan memperoleh Gaji sebulan Rp.
3.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 75.000,00. Tommy menikah
tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai
berikut :
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
DaDasar Hukum PPN
Dan PPn BM, Perkembangan Dasar Hukumnya, Karakteristik, Tipe, Dan Pencatatan/
Pembukuan Pada PPN
Undang-Undang
yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPn BM) adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009. Undang-Undag ini disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
1984.
1.
b. Pajak objektif
Yang dimaksud
pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbunya kewajiban pajak
ditentukan oleh factor objektif yaitu adanya taatbestand .adapun yang
dimaksud taat bestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hokum yang
dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai
pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar pajak pertambahan nilai
ditentukan oleh adanya objek pajak.
3. Tipe Pajak Pertambahan Nilai
a. consumption Type VAT
dalam
consumtion type value added tax semua pembelian yang digunaka untuk produksi
termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari penghitungan nilai tambah.
Pajak
pertambahan nilai tipe konsumsi ini memiliki beberapa nilai positif, yaitu:
1) Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak Masukan atas
pembelian Barang Kena Pajak yang digunakan dalam proses produksi segera dapat
dikreditkan.
2) Menunjang ikli investasi sehat
3) Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenerasi alat produksi
barang modal tidak dikenakan pajak lebih dari satu kali.
4) Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (bersift non kumulasi).
b. Net Income Type VAT
Dalam Net Income Type Value Added Tax, pengurangan pembelian barang modal
dari dasar pengenaan pajak tidak dimungkinkan. Pembelian barang modal hanya
boleh dikurangkan sebesar presentase penyusutan yang ditentukan pada waktu
menghitung hasi l bersih dalam rangka penghiungan pajak penghasilan. Oleh
karena itu dasar pengenaan pajak pertambahan nilai akan sama dengan dasar
pengenaan pajak penghasilan.
c. Gross Product Type VAT
dalam Gross Product Tyoe Value Added tax, pembelian barang modal sama
sekali tidak boleh dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Hal ini
mengakibatkan barang modal dikenakan pajak dua kali yaitu pada saat dibeli,
kemudian pemajakan yang kedua dilakukan melalui hasil produksi yang dijual
kepada konsumen.
4. Pencatatan Dan Pebukuan Dalam Pajak Pertambahan Nilai
a. Dasar hukum
Ketentuan mengenai pembukuan yang sebelum 1 januari 2001diatur dalam
pasal 6 UU PPN 1984, dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 dihapus sehingga mengenai
kewajiban pembukuan dibidang PPn semata-mata mengacu pada pasal 28 UU KUP.
Ide yang melatarbelakangi penghapusan pasal 6 UU PN 1984 dapat dipahami yaitu
mengenai kewajiban menyelenggrankan pembukuan dan pencatatan sudah diatur
dalam Pasal 28 UU KUP.
Kewajiban ini merupakan bagian dari ketentuan formal.UU no 8 tahun 1984
merupakan ketentuan materil sehingga tidak dapat apabila mengatur juga
kewajiban formal.Selai itu untuk menghindari pengaturan ganda terhadap satu
masalah.
b. Pencatatan yang Wajib Diselenggarakan Oleh PKP
1) Kuantum Barang Kena Pajak Yang diserahkan
2) Harga Perolehan Barang/Jasa Kena Pajak dan Pajak Masukan
3) Harga Jual/Penggantian dan Pajak keluaran yang dikenakan
4) Penyerahan yang terutang PPN 10%
5) Penyerahan yang terutang PPN 0%
6) Penyerahan yag tidak terutang PPN
7) Penyerahan yang terutang PPnBM
Karena
berdasarkan pasal 16B UU PPN 1984, terhadap penyerahan BKP/JKP tertentu
diberikan fasilitas maka bagi PKP yang melakukan penyerahan terkait dengan
fasilitas dimaksud, pencatatan itu harus ditambah dengan dua materi lagi
yaitu :
8) Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan pajak
9) Penyerahan yang PPN dan PPnBM-nya tidak dipungut.
1. Barang Kena Pajak (BKP)
a. Pengertian
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud
yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang.
2. Jasa Kena Pajak (JKP)
a. Pengertian
Jasa adalah setiap kegiatan
pelayanan yang berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas,
kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesanan.
Jasa Kena
Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.
b. Pengecualian JKP
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain
oleh Undang-Undang PPn. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut.
1) Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:
a) Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
b) Jasa dokter hewan;
c) Jasa ahlikesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli
fisioterapi;
d) Jasa kebidanan dan dukun bayi;
e) Jasa paramedis dan perawat; Dll
f
3. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
a. Pengertian
1) Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor
jasa, atau memanfaatkan jasadari luar Daerah Pabean.
2) Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai paja berdasarkan
Undang-Undang PPN 1984.
b. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha
Kena Pajak berkewajiban, antara lain untuk:
1) Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
2) Memungut PPN dan PPn BM yang terutang.
3) Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih
besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
4) Melaporkan penghitungan pajak.
c. Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha
yang dikecualikan dari nkewajiban sebagai Pengusaha kena Pajak adalah:
1) Pengusaha Kecil.
2) Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak
dikenakan PPN.
d. Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan
penyerahan Barang kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah
peredaran bruto dan/ atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku,
jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas yang telah
ditetapkan, Pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah
peredaran bruto dan/ atau penerimaan brutonya melebihi Rp. 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
PKP dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP apabila
jhumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku
tidak melebihi batas yang telah ditentukan dengan mengajukan permohonan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya tahun buku. Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak
permohonan pencabutan pengukuhan diterima. Apabila dalam jangka waktu
tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan
pencabutan pengukuhan dianggap diterima.
Beberapa hal
yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil.
1) Dilarang membuat faktur pajak
2) Tidak wajib memasukan SPT Masa PPN
3) Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan
4) Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang
memperoleh bruto di atas batas yang telah ditentukan.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang
Kena Pajak. Penyerahan barang yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
1) Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian
2) Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa
guna usaha (leasing)
3) Penterahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
4) Pemakaian swendiri dan/atau pemberian Cuma-Cuma atas BKP
5) BKP berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan , yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
6) Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
BKP antar cabang
7) Penyerahan BKP secara konsinyasi
8) Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahanya dianggap langsung dari PKP
kepada pihak yang membutuhkan BKP
Sedangkan
penyerakan barang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah
sebagai berikut.
1) Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang
2) Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang
3) Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebalikanya dan/atau penyerahan
BKP atar cabang dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat pajak terutang
4) Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan , peleburan, pemekaran ,
pemecahan dari pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak
5) BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual
belikan, yang masih tersisa pada saat pembuaan perusahaan dan yang pajak
Masukan atas perolehanya tidak dapt di kreditkan.
B. Objek Pajak
Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)
1. Objek Pajak Pertambahan Nilai
PPN dikenakan
atas:
a. Penyerahan BKP di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah:
1) Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
2) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP yang tidak berwujud
3) Penyerahan dilakukan di daerah Pabean
4) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha
b. Impor BKP
c. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1) Jasa yang diserahkan merupakan JKP
2) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
3) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan dari luar Daerah Pabean di dalam daerah
Pabean
e. Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
f. Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
g. Ekspor BK tidak Berwujud oleh pengusaha kena pajak
h. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidaka dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
pihak lain.
i.
Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semual tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak
Masukanya tidak dapat dikreditkan.
2. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)
Dengan
pertimbangan bahwa:
a. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah
c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara
Maka atas
penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh produsen atau impor BKP yang
tergolong mewah, disamping dikenakan Pajak Pertambhan Nilai (PPN) juga
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM).Batasan suatu termasuk
BKP yang tergolong mewah adalah:
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentuu
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang
berpenghasilan tinggi
d. Barang tersebut untuk menunjukan status
PPn BM
dikenakan atas:
a. Penyerahan BKPyang tergolong barang mewah yang dilakukan oleh pengusaha
yang berpenghasilan BKP yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah PAbean
dalam kegiatan usaha atau pekerjaanya
b. Impor BKP yang tergolong mewah
PPn BM
merupakan pungutan tambahan disamping PPN. PPn BM hanya dikenakan satu kali
pada waktu penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha yang
menghasilkan atau pada waktu impor BKP yang tergolong mewah.
TaTarif Pajak Pertambahan Nilai
Tariff PN yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tariff PPN sebesar
0% diterapkan atas:
a. Ekspor BKP Berwujud
b. Ekspor BKP Tidak Berwujud
c. Ekspor JKP
2. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Tarif penjualan atas barang mewah dapat diterapkan dalam beberapa
kelompok tariff, yaitu tariff paling rendah adalah 10% dan yang paling tinggi
adalah 200%. Ketentuan mengenai tariff kelompok barang kena pajak yang
tergolong mewah yang dikenai Pajank Penjualan Atas Barang Mewah dengan
peraturan pemerintah. Sedangkan ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai
PPn BM siatur dengan peraturan menteri keuangan.
CaCara Menghitung PPn BM
Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut :
Contoh :
PKP “ABC”
sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp.
10.000.000,-. Barang tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan tarif
PPn BM sebesar 40 %. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai
berikut :
PPN = 10 % x Rp. 10.000.000 = Rp.
1.000.000,-
PPn BM = 40 % x Rp. 10.000.000 =
Rp. 4.000.000,-
|
0 Komentar untuk "Pajak Penghasilan Pasal 21"