Hadhy Ghathan

Menyajikan berberapa artikel yang di butuhkan bagi siswa

Blog Archive

Powered by Blogger.

Labels

Popular Posts

Gallery

Follow us on FaceBook

About

Popular Posts

Pajak Penghasilan Pasal 21



Pajak Penghasilan Pasal 21
A.     Pengertian Pajak penghasilan Pasal 21
adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan  kegiatan.
Dasar hukum Pajak Penghasilan PPh pasal 21 yaitu :
·         Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
·         Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
·         Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
·         Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan
·         Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
·         Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak.
B.     Pemotong PPh Pasal 21
Ø  Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.
Ø  Bendaharawan pemerintah baik Pusat maupun Daerah
Ø  Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
Ø  Perusahaan dan bentuk usaha tetap.
Ø  Yayasan, lembaga, kepanitia-an, asosiasi, perkumpulan, organisasi massa, organisasi sosial politik dan organisasi lainnya serta organisasi internasional yang telah ditentukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
Ø  Penyelenggara kegiatan.
C.     Penerima Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21
1)      Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan  syarat:
Ø  bukan warga negara Indonesia dan
Ø  di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya  tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
2)      Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
D.     Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a)      penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang  sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;
b)      penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
c)      upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai
d)      uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja;
e)      honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, terdiri dari : tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris)pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;

E.     Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
1.      Pegawai Tetap
a.      Pengertian Pegawai Tetap
Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.
b.      Dasar Hukum:
·         Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2009
·         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
·         Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK. 03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan
c.       Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap adalah Penghasilan Kena Pajak
d.      Biaya Jabatan
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-250/PMK. 03/2008, besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi pegawai tetap  ditetapkan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 6.000.000,00 setahun atau Rp 500.000,00  sebulan.
e.       Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah bagi:
Ø  Wajib Pajak :Rp 15.840.000,-
Ø  Tambahan status kawin :Rp 1.320.000,-
Ø  Istri Bekerja :Rp 15.840.000,-
Ø  Tambahan tanggungan       : Rp 1.320.000,- (Maksimal 3)
F.                 Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21

Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur  
G.      Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
1.      Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
2.      Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah
3.      Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;
4.      Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
5.      Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan.
H.      Menghitung Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
1.      Biaya jabatan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2.      Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
I.        PTKP bagi Karyawati
Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
1.      Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;
2.      Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya
J.        Tarif Pemotongan PPh Pasal 21
Bagi Pegawai Tetap tarif PPh Pasal 21 adalah berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak, yaitu:
·         Penghasilan s.d Rp 50.000.000, tarif 5%
·         Penghasilan s.d Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000, tarif 15%
·         Penghasilan Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000, tarif 25%
·         Penghasilan di atas Rp 500.000.000, tarif 30% \
K.      Ketentuan Penghitungan PPh Pasal 21

1.      Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
a)      Perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
b)      Dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur, maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh salama 1 (satu) tahun adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur.
2.      Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak adalah:
a)      Atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan teratur dibagi 12 (dua belas)
b)       Atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang, atas jumlah penghasilan tidak teratur dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas jumlah penghasilan teratur

l.        Pegawai Pindahan Baru
Dalam hal pegawai tetap mempunyai kewajiban pajak subjektif terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai bekerja setelah bulan januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada angka (1) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada angka (2) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja.
m.    Pegawai Berhenti Bekerja
Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan desember dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan lebih besar dari PPh pasal 21 yang terhutang untuk 1 (satu) tahun pajak, maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti bekerja.
n.      Penghitungan PPh Pasal 21 Masa Terakhir
Sehubungan sudah tidak adanya lagi SPT Tahunan PPh Pasal 21, maka besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan. Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
o.      Pegawai Asing
Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya hanya meliputi bagian tahun pajak, perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.
n. Tarif PPh Pasal 21 bagi yang tidak Mempunyai NPWP
a)      Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
b)      Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120 % (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
c)      Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
d)      Dalam hal penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Saat Terutang PPh Pasal 21
1)      PPh Pasal 21 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
2)      PPh Pasal 21 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak.
3)      Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
Contoh Perhitungan:
Tommy bekerja pada perusahaan PT Multi Dinamika dengan memperoleh Gaji sebulan Rp. 3.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 75.000,00. Tommy menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sebagai berikut :


Gaji sebulan
Rp
3.000.000,00



Pengurangan :


1.
Biaya Jabatan :
5% x Rp 3.000.000,00
Rp
150.000,00


2.
Iuran Pensiun
Rp
75.000,00



Rp
225.000,00
Penghasilan neto sebulan
Rp
2.275.000,00
Penghasilan neto setahun adalah


12 x Rp. 2.275.000,00
Rp
33.300.000,00
PTKP setahun


-
untuk WP sendiri
Rp
15.840.000,00


-
tambahan WP kawin
Rp
1.320.000,00




Rp
17.160.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun
Rp
16.140.000,00



PPh Pasal 21 terutang


5% x Rp. 16.140.000,00
=
Rp.807.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp 807.000,00: 12
=
Rp. 67.250,00










DaDasar Hukum PPN Dan PPn BM, Perkembangan Dasar Hukumnya, Karakteristik, Tipe, Dan Pencatatan/ Pembukuan Pada  PPN
Undang-Undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang-Undag ini disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
1.   
b.      Pajak objektif
Yang dimaksud pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbunya kewajiban pajak ditentukan oleh factor objektif yaitu adanya taatbestand .adapun yang dimaksud taat bestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hokum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar pajak pertambahan nilai ditentukan oleh adanya objek pajak.
3.      Tipe Pajak Pertambahan Nilai
a.       consumption Type VAT
dalam consumtion type value added tax semua pembelian yang digunaka untuk produksi termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari penghitungan nilai tambah.
Pajak pertambahan nilai tipe konsumsi ini memiliki beberapa nilai positif, yaitu:
1)      Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak Masukan atas pembelian Barang Kena Pajak yang digunakan dalam proses produksi segera dapat dikreditkan.
2)      Menunjang ikli investasi sehat
3)      Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenerasi alat produksi barang modal tidak dikenakan pajak lebih dari satu kali.
4)      Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (bersift non kumulasi).
b.      Net Income Type VAT
Dalam Net Income Type Value Added Tax, pengurangan pembelian barang modal dari dasar pengenaan pajak tidak dimungkinkan. Pembelian barang modal hanya boleh dikurangkan sebesar presentase penyusutan yang ditentukan pada waktu menghitung hasi l bersih dalam rangka penghiungan pajak penghasilan. Oleh karena itu dasar pengenaan pajak pertambahan nilai akan sama dengan dasar pengenaan pajak penghasilan.
c.       Gross Product Type VAT
dalam Gross Product Tyoe Value Added tax, pembelian barang modal sama sekali tidak boleh dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Hal ini mengakibatkan barang modal dikenakan pajak dua kali yaitu pada saat dibeli, kemudian pemajakan yang kedua dilakukan melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen.
4.      Pencatatan Dan Pebukuan Dalam Pajak Pertambahan Nilai
a.       Dasar hukum
Ketentuan mengenai pembukuan yang sebelum 1 januari 2001diatur dalam pasal 6 UU PPN 1984, dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 dihapus sehingga mengenai kewajiban pembukuan dibidang PPn semata-mata mengacu pada pasal 28 UU KUP. Ide yang melatarbelakangi penghapusan pasal 6 UU PN 1984 dapat dipahami yaitu mengenai kewajiban menyelenggrankan pembukuan dan pencatatan sudah diatur dalam Pasal 28 UU KUP.
Kewajiban ini merupakan bagian dari ketentuan formal.UU no 8 tahun 1984 merupakan ketentuan materil sehingga tidak dapat apabila mengatur juga kewajiban formal.Selai itu untuk menghindari pengaturan ganda terhadap satu masalah.
b.      Pencatatan yang Wajib Diselenggarakan Oleh PKP
1)      Kuantum Barang Kena Pajak Yang diserahkan
2)      Harga Perolehan Barang/Jasa Kena Pajak dan Pajak Masukan
3)      Harga Jual/Penggantian dan Pajak keluaran yang dikenakan
4)      Penyerahan yang terutang PPN 10%
5)      Penyerahan yang terutang PPN 0%
6)      Penyerahan yag tidak terutang PPN
7)      Penyerahan yang terutang PPnBM
Karena berdasarkan pasal 16B UU PPN 1984, terhadap penyerahan BKP/JKP tertentu diberikan fasilitas maka bagi PKP yang melakukan penyerahan terkait dengan fasilitas dimaksud, pencatatan itu harus ditambah dengan dua materi lagi yaitu :
8)      Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan pajak
9)      Penyerahan yang PPN dan PPnBM-nya tidak dipungut.
1.      Barang Kena Pajak (BKP)
a.       Pengertian
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang.
2.      Jasa Kena Pajak (JKP)
a.       Pengertian
Jasa  adalah setiap kegiatan pelayanan  yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.
b.      Pengecualian JKP
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang PPn. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut.
1)      Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:
a)      Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
b)      Jasa dokter hewan;
c)      Jasa ahlikesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
d)     Jasa kebidanan dan dukun bayi;
e)      Jasa paramedis dan perawat; Dll
f
3.      Pengusaha Kena Pajak (PKP)
a.       Pengertian
1)      Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasadari luar Daerah Pabean.
2)      Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai paja berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.
b.      Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak berkewajiban, antara lain untuk:
1)      Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
2)      Memungut PPN dan PPn BM yang terutang.
3)      Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
4)      Melaporkan penghitungan pajak.
c.       Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang dikecualikan dari nkewajiban sebagai Pengusaha kena Pajak adalah:
1)      Pengusaha Kecil.
2)      Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak dikenakan PPN.
d.      Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/ atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan, Pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/ atau penerimaan brutonya melebihi Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
PKP dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP apabila jhumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi batas yang telah ditentukan dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya tahun buku. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak permohonan pencabutan pengukuhan diterima. Apabila dalam jangka waktu tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan pencabutan pengukuhan dianggap diterima.
Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil.
1)      Dilarang membuat faktur pajak
2)      Tidak wajib memasukan SPT Masa PPN
3)      Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan
4)      Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang memperoleh bruto di atas batas yang telah ditentukan.
4.      Penyerahan Barang Kena Pajak
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak. Penyerahan barang yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
1)      Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian
2)      Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing)
3)      Penterahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
4)      Pemakaian swendiri dan/atau pemberian Cuma-Cuma atas BKP
5)      BKP berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan , yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
6)      Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang
7)      Penyerahan BKP secara konsinyasi
8)      Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahanya dianggap langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP
Sedangkan penyerakan barang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah sebagai berikut.
1)      Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
2)      Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang
3)      Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebalikanya dan/atau penyerahan BKP atar cabang dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat pajak terutang
4)      Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan , peleburan, pemekaran , pemecahan dari pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak
5)      BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, yang masih tersisa pada saat pembuaan perusahaan dan yang pajak Masukan atas perolehanya tidak dapt di kreditkan.



B.     Objek Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)
1.      Objek Pajak Pertambahan Nilai
PPN dikenakan atas:
a.       Penyerahan BKP di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Syarat-syaratnya adalah:
1)      Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
2)      Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP yang tidak berwujud
3)      Penyerahan dilakukan di daerah Pabean
4)      Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha
b.      Impor BKP
c.       Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1)      Jasa yang diserahkan merupakan JKP
2)      Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
3)      Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya
d.      Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean
e.       Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
f.       Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
g.      Ekspor BK tidak Berwujud oleh pengusaha kena pajak
h.      Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidaka dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
i.        Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semual tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak Masukanya tidak dapat dikreditkan.
2.      Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)
Dengan pertimbangan bahwa:
a.       Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
b.      Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah
c.       Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d.      Perlu untuk mengamankan penerimaan negara
Maka atas penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh produsen atau impor BKP yang tergolong mewah, disamping dikenakan Pajak Pertambhan Nilai (PPN) juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM).Batasan suatu termasuk BKP yang tergolong mewah adalah:
a.       Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
b.      Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentuu
c.       Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi
d.      Barang tersebut untuk menunjukan status
PPn BM dikenakan atas:
a.       Penyerahan BKPyang tergolong barang mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang berpenghasilan BKP yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah PAbean dalam kegiatan usaha atau pekerjaanya
b.      Impor BKP yang tergolong mewah
PPn BM merupakan pungutan tambahan disamping PPN. PPn BM hanya dikenakan satu kali pada waktu penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor BKP yang tergolong mewah.
TaTarif Pajak Pertambahan Nilai
Tariff PN yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tariff PPN sebesar 0% diterapkan atas:
a.       Ekspor BKP Berwujud
b.      Ekspor BKP Tidak Berwujud
c.       Ekspor JKP
2.      Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Tarif penjualan atas barang mewah dapat diterapkan dalam beberapa kelompok tariff, yaitu tariff paling rendah adalah 10% dan yang paling tinggi adalah 200%. Ketentuan mengenai tariff kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajank Penjualan Atas Barang Mewah dengan peraturan pemerintah. Sedangkan ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai PPn BM siatur dengan peraturan menteri keuangan.

CaCara Menghitung PPn BM
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut :

Contoh :
PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp. 10.000.000,-. Barang tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan tarif PPn BM sebesar 40 %. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut :
PPN                 = 10 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.000.000,-
PPn BM                      = 40 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 4.000.000,-

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Pajak Penghasilan Pasal 21"

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top